Hijrah Itu Adalah Bentuk Kasih Sayang Allah


Hijrah Itu Adalah Bentuk Kasih
Sayang Allah
Posted by ana_susan, 21 Mei 2020

Foto: pexels.com


Hijrah merupakan perjalanan seorang hamba menuju Rabb nya. Perjalanan menuju banyaknya kebaikan-kebaikan dengan menepis semua keburukan. Tetap istiqomah di jalan Nya meskipun halangan dan rintangan selalu ada di depan mata.

Bulan Ramadan itu, menjadi saksi atas semua dosa-dosaku. Bulan Ramadan itu telah menjauhkan aku dengan keluargaku selama seminggu. Kegiatan pasantern kilat yang telah menyemai hatiku, yang telah menimbulkan wangi semerbak bunga kebaikan. Menghujam dengan lekat hingga sentuhan-sentuhan itu masih terasa hingga sekarang.

Di sepuluh malam terakhir, dimana Lailatur qadar berada di dalamnya. Sepuluh malam terakhir, di mana segala doa pasti dikabulkan. Keputusan itu telah membuat kedua orang tuaku sontak kaget. Apakah ini benar anaknya?

Selama hampir 16 tahun bersama, masih terlihat rambut ini tergerai saat berada di luar. Masih terpampang aurat yang mestinya tertutup rapat. Masihkah ada ampunan dari Nya? Antara yakin dan tidak, perasaan itu terus menghantui. Ada sebuah ayat darinya terus terpatri dalam dadaku hingga sekarang. Sebuah ayat yang mewajibkan untuk menutup aurat kecuali wajah dan telapak tangan. 

Ternyata, selama 16 tahun, aku salah dan tidak  tahu apa-apa. Masih menggunakan bawahan yang panjangnya di bawah lutut sedikit. Masih menggunakan baju oblong berlengan pendek dengan warna merah dan hijau kesukaanku. Tapi semua berlalu begitu saja.

Bulan Ramadan itu telah membuka hatiku yang tertutup selama ini. Allah yang telah menggerakkannya untuk menerima secercah hidayah. Kalau bukan karena hidayah dari Nya, mungkin aku tidak menikmati tertutupnya auratku hingga sekarang.

Perjuangan belum selesai. Aku dijauhkan oleh keluarga besar. Mama dan papa sedikit malu dengan keadaanku saat itu. mungkin menganggap bahwa waktu itu hijab belum ngetren. Jadilah beliau terus melarang beberapa hal yang membuat aku selalu diam tanpa bicara.
***
“Kalau sama Bang Andi salam ya. Kan mama dan papa malu. Lagian sekarang momennya lebaran,” kata papa kepadaku.

“Tidak! Pa, aku tidak akan bersentuhan pada laki-laki yang bukan mahramku Pa,” jawabku pelan.

“Tapi kan dia saudaramu. Dia anak dari kakaknya Papa. Kan masih saudara dekat”.

“Meskipun saudara dekat, tapi kan bukan mahram Pa”. Ada beberapa orang yang tidak boleh bersentuhan kulit. Salah satunya adalah Bang Andi”. Papa pun diam sejenak sambil menghela nafasnya pelan tapi terdengar.

“Ya sudah deh terserah kamu saja,” jawab papa.
***
“Nak Ani, cepat! Tolong buka pintu ada tamu Nak,” kata mama dari arah dapur. Aku yang sedari tadi asyik menghafal pelajaran yang akan diujiankan besok kaget. Suara bel saja nyaris tak terdengar sangking khusyuknya belajarku. Saat mama menjerit, baru aku sadar ternyata ada tamu yang menekan bel pintu beberapa kali. 

Aku bergegas mencari jilbab di belakang pintu dan mencari kaus kaki. Tapi kaus kaki yang kucari belum ditemukan. Setelah aku keluar kamar, ternyata kaus kaki itu ada di ruang tamu. Aku lupa memindahkannya, karena tertalu lelah berjalan kaki dari sekolah. Aku memakai kaos kaki karena kata mama tamunya adalah laki-laki. Beliau teman kantor mamaku.

“Masya Allah, Nak. Belum kamu buka pintunya dari tadi?” tanya mama menyusulku ke ruang tamu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ini mau buka, Ma”. Aku pun bergegas ke depaan pintu dan menerima tamu yang datang.

“Kamu mau kemana udah lengkap dengan kaus kaki?” Mama bertanya seolah lupa dengan pakaian yang biasa ku pakai saat itu. Jika ada tamu atau yang bukan mahram aku pasti memakai pakaian secara lengkap.
***
“Apa kamu yakin dengn keputusan yang kamu buat?” Kata pak Kepala Sekolah kepadaku.

“Saya yakin Pak. Inshaa Allah tidak akan terjadi apa-apa dengan saya di masa depan,” Jawabku mantap.

Saat itu aku sangat yakin bahwa aku pasti diterima kerja di mana pun aku bekerja untuk melamarnya. Allah pasti bersamaku. Meskipun segelintir orang masih menganggap pas photo berjilbab di larang untuk ditempelkan pada ijazah sekolah.

Bersama dengan teman-teman yang minoritas, membuat semangat hidayah ini terus mengalir, semoga Allah tetap menjaga keistiqomahanku hingga ajal menjemput.

Waktu terus berlalu, aku melanjutkan kuliah. Alhamdulillah aku bertemu dengan sekumpulan orang-orang yang memiliki ghirah yang sama seperti aku. Meski harus berlelah-lelah dalam tugas kuliah, aku menyempatkan mengikuti pengajian rutin dalam forum silaturahmi mahasiswa. 

Di sana aku juga mendapat ujian yang lain bersama teman-teman dari beberapa orang dosen. Mereka menganggap aktifitas yang kami lakukan adalah sia-sia. Kami tidak menerima tuduhan yang telah disampaikan. Kami buktikan semuanya dengan berkata, bahwa kami bisa lulus dengan nilai terbaik.

Alhamdulillah, doa kami terkabul, perkataan kami diijabah olehNya. Meskipun kami anak mushalla, tapi kami tetap berprestasi dan lulus sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Bahkan kakak kelas kami ada beberapa yang cumlaude. Aku sendiri melanjutkan kuliah ke jenjang Pasca Sarjana. Saat itulah terhapus pandangan ektrim tentang anak mushalla atau anak rohis bersantai-santai ria, atau hanya mikirin akhirat saja.
***
 “Kak, make up nya tipis saja ya. Jangan terlalu tebal. Karena aku tidak terbiasa,” kataku pada perias pengantin.
  
 “Iya,” jawabnya ketus dengan wajah yang cemberut.

Kuperhatikan wajahnya yang tanpa senyum sedikit pun dari cermin rias. Tak lama mama mengetuk pintu dan mengatakan kalau bisa dipercepat. Karena semua tamu sudah menunggu dan pengantin pria sudah berada di pelaminan.

Telah menjadi adat kebiasaanku, jika tamu dari mempelai laki-laki telah datang, sang pengantin wanita yang bertindak sebagai tuan rumah harus sudah siap lebih dulu. Namun, karena kondisiku saat itu mengalami perdebatan antara aku dan perias akhirnya waktu pun semakin lama.

 “Udah, dilepaskan saja jilbabnya biar cepat selesai ya!” kata sang perias tegas.

  “Jangan! Kak, jawabku spontan.


 “Ya sudah pasang sendiri saja ya. Tugas saya sudah selesai”. Dia pun berlalu pergi dari kamarku setelah . 

Aku dan teman dekatku tinggal berdua. Dia membantu merias jilbabku saat itu. kupasangkan perlahan-lahan sampai tidak mengganggu hiasan yang ada di kepalaku. saat itu, pengantin wanita berjilbab adalah sebuah pemandangan yang asing. Di sanalah letak perjuanganku yang sesungguhnya.

Aku berusaha mempertahankannya untuk tidak terbuka selama bertahun-tahun. Auratku hanya boleh terlihat oleh keluargaku sendiri dan spesial untuk suamiku. Haruskah aku lepaskan dalam waktu satu hari? Tidak. Sekali lagi tidak. Aku berjuang berdua  dengan temanku. Dialah saksi atas berlinangan air mataku saat itu. Kata beliau, 

“Jangan nagis nanti make up nya luntur. Sabar ya”, sambil tersenyum ke arah ku.

Masya Allah, Allah mengirimkan dia untuk mengendalikan emosiku yang meluap-luap saat itu. mama dan papa pun tidak tahu bagaimana kedaanku saat itu. Rahasia itu tetap terjaga sampai sekarang. Aku tidak ingin membebankan masalah yang kecil ini untuk di besar-besarkan, cukup aku, temanku dan Allah saja yang tahu.

Perjuangan hijrah memang sangat unik. Dia tidak bisa dirancang seperti apa nantinya. Dia tidak bisa ditentukan solusinya akan bagaimana. Hijrah itu adalah lompatan-lompatan keimanan seseorang menuju Rabb Nya. Ujian yang ada di dalamnya akan terus meningkat seiring dengan perjalanan hidup kita. Hingga sekarang ujian hijrah itu terus berlangsung pada diriku, tapi dengan tingkat ujian yang lebih tinggi.

Ujian hijrah harus mampu kita lewati, agar pendewasaan diri terus terasah, agar Allah semakin sayang dan cinta pada kita. Doa agar tetap istiqomah selalu menjadi senjata bagiku untuk terus dan tetap berada di jalannya. Jangan pernah takut saat hidayah datang pada kita. Karena di situlah letak kasih sayangnya Allah pada hambaNya.

#ChallangeBPN_29

No comments

Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan tinggalkan pesan atau saran seputar tema pembahasan :).