Suasana pemandangan di depan rumahku
“Kecepatan kita mengambil dari alam dan kecepatan kita mengembalikan ke alam tidak pernah sebanding”(DK. Wardhani).
Sejak dahulu Aku sangat tertarik dengan kehidupan alam yang segar, jauh dari perkotaan dan suasana yang tenang. Hanya terdengar suara kicauan burung dan beberapa serangga kecil. Suasana seperti ini terkadang mampu memberikan inspirasi baik dalam hal menulis, ilustrasi dan fotografi yang sedang kulakoni sekarang. Bahkan suasana seperti inilah mampu menenangkan rasa rindu yang amat berat akan kampung halaman.
Akan tetapi sangat disayangkan jika suasana alam segar ini berubah menjadi tempat yang sangat panas sehingga harus minum bergelas-gelas guna mengembalikan keringat yang telah bercucuran. Hanya mendengar suara-suara mesin yang memekakkan telinga, atau mengungsi jauh ke arah kota akibat bencana alam yang terus menerus terjadi.
Tidak hanya itu saja, para petani jangankan ingin menjual hasil panen mereka, menikmati untuk dirinya sendiri pun tidak sempat. Deforestasi yang dilakukan pemerintah tanpa melihat dampaknya. Bahkan perusakan lahan gambut demi membangun pabrik-pabrik sang penguasa yang memiliki cuan besar. Padahal kita tahu lahan gambut mampu menyimpan begitu banyak unsur karbon yang sangat berguna bagi keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.
Belum lagi sampah plastik yang kian melampaui dosis hingga harus berakhir di laut sebagai pemasok blue carbon yang juga berfungsi sebagai penyimpan karbon yang baik dalam jangka panjang sehingga mampu mengurangi dampak perubahan iklim.
Semua hal tersebut sangat mengganggu keseimbangan alam secara fitrahnya. Tidak hanya manusia yang dirugikan (sebagai pelaku utamanya), bahkan makhluk hidup lain pun terkena imbasnya. Maka tidaklah salah ada sebuah ungkapan ditulis oleh DK Wardhani selaku penulis buku rumah minim sampah sekaligus founder kelas @belajarzerowaste_id di salah satu instagramnya yakni “Kecepatan kita mengambil dari alam dan kecepatan kita mengembalikan ke alam tidak pernah sebanding”. Kita mengambil banyak, namun untuk mengembalikannya ke bentuk semula butuh bertahun-tahun lamanya.
Lantas, usaha seperti apakah yang akan kita lakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut? Sebelum ada langkah kecil yang akan kita lakukan bersama, yuk kita melipir sesaat pada fakta dan kondisi terkini tentang lingkungan di Indonesia itu seperti apakah sekarang. Agar mata kita terbuka, bahwa inilah kenyataan yang ada, hingga nurani pun tergerak untuk memperbaikinya lebih awal meskipun itu hanya dengan sebuah langkah kecil.
Indonesia Negara Berdampak Krisis Iklim
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan berdampak krisis iklim. Tujuh pulau kecil di kepulauan Seribu telah tenggelam. Di provinsi lainnya, hal yang sama terjadi. Tidak hanya itu, beberapa desa pesisir terancam tenggelam. Pada masa yang akan datang, akan banyak masyarakat pesisir sebagai pengungsi iklim.
Sebenarnya mengapa Indonesia sangat rentan berdampak krisis iklim? Semua terjadi karena Indonesia sebagai negara yang dikelilingi oleh lautan sehingga naiknya permukaan air laut memberi dampak negatif terhadap perubahan iklim. Hal lainnya Indonesia kaya akan hutan. Nah, jika habitat hutan terganggu maka perubahan iklim pun akan muncul.
Indonesia Penghasil Sampah Plastik yang Cukup Besar
Berdasarkan riset Greeneration pada tahun 2009, satu orang di Indonesia rata-rata memakai 700 kantong plastik per tahun. Bila dikonsumsi, ada lebih dari 100 miliar kantong plastik - yang pembuatannya menghabiskan 12 juta barrel minyak bumi – digunakan masyarakat Indonesia per tahun. Ini adalah data tahun 2009, bagaimana dengan data tahun 2023 sekarang atau beberapa tahun ke depan?
Itu baru kantong plastik yang digunakan. Belum lagi, botol air kemasan, sedotan plastik, kemasan multi layer plastik (yang berasal dari pewangi pakaian, makanan ringan, pembungkus permen, shampoo), atau kertas pembungkus nasi yang memiliki dua lapisan yakni kertas dan plastik. Padahal kita tahu untuk kantong plastik saja baru terurai 10-20 tahun lamanya. Kebayang kan berapa lama kita harus menghilangkan jejaknya. Di bawah ini adalah beberapa benda dan berapa lama dia terurai di alam.
Ilustrasi beberapa benda yang terurai dan tidak terurai
Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa untuk bahan organik saja membutuhkan waktu 2 bulan agar dia menyatu kembali dengan alam hingga bisa kita gunakan lagi. Sedangkan sedotan plastik butuh 200 tahun terurai. Nah, saat itu kita sudah tiada. Apalagi tisu basah yang tidak dapat terurai sama sekali. Betapa bumi ini sangat marah atas semua perlakuan kita. Jadi sangatlah pantas jika bencana alam ada di mana-mana. Padahal semua karena ulah kita sendiri.
Indonesia Pernah Mengalami Kenaikan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) ?
Pada tahun 2022, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Indonesia mengalami kenaikan 0,97 poin dibanding tahun sebelumnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan pada Refleksi akhir tahun 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berlangsung secara luring dan daring di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2022.
Nilai IKLH Indonesia sejak tahun 2018 sampai 2022 terus meningkat. Berturut-turut nilainya 65.14; 66.55; 70.27; 71.45 dan 72.42 poin.
Leonard Simanjuntak, selaku kepala Greenpeace Indonesia menilai fakta yang ada di lapangan tidak mencerminkan klaim tersebut. Menurutnya, data-data pemerintah haruslah dilihat secara kritis.
Beliau juga mengakui tingkat deforestasi atau penebangan hutan memang menurun, tetapi hal ini masih tetap terjadi dalam skala yang masih mengkhawatirkan. Seperti salah satu contohnya adalah masih ada kerusakan di Mangrove. Kemudian, penanganan sampah yang belum sempurna terutama sampah plastik sehingga lima sungai di lima pulau utama Indonesia tercemar mikroplastik.
Persentase DAS (Daerah Aliran Sungai) yang sudah rusak juga tinggi sekali karena penebangan hutan di hulu sungai. Belum lagi masalah pencemaran udara di kota-kota besar yang tetap buruk. Hal ini dibuktikan dengan pengukuran harian di situs IQAir (Air Quaity Index) Jakarta beberapa kali meraih juara indeks kualitas udara terburuk dunia, terutama saat jam sibuk.
Jadi, sepanjang 2018-2022 Indonesia memang berhasil menaikkan IKLH. Namun, kita tidak boleh melupakan tren tersebut masih bersifat fluktuatif. Penurunan IKLH masih mungkin terjadi jika berbagai pihak tidak memegang teguh pada komitmen bersama menaikkan laju IKLH dari masa ke masa.
Bisakah nilai IKLH itu menurun? Bukankah kita memiliki hutan yang cukup luas bahkan berada pada posisi ke delapan di dunia. Belum lagi lautan yang mengelilingi kepulauan Indonesia yang begitu luasnya.
Hutan Indonesia Pemasok Karbon
Teman-teman tahu nggak, kalau Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan terluas di dunia. Berdasarkan data FAO (organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), luas hutan Indonesia mencapai 92 juta hectare pada tahun 2020. Luasan hutan Indonesia menjadi yang terbesar ke delapan di dunia.
8 negara dengan hutan terluas di dunia (2020)
Hutan menjadi ekosistem penting bagi dunia karena mampu menyerap 25 % emisi karbon yang menjadi biang kerok dari persoalan iklim secara global.
Pada data tersebut Rusia berada di posisi pertama sedangkan Indonesia terakhir. Meskipun kita pada posisi terakhir, sepatutnya kita harus bangga, karena masih berkontribusi untuk menyelamatkan negaranya sendiri dari krisis iklim bahkan dunia. Hutan telah sangat baik pada kita, namun salahnya kita tidak baik padanya. Apa buktinya?
Terjadinya Deforestasi
Deforestasi atau berkurangnya tutupan hutan di Indonesia secara total cendrung menurun. Bahkan mengarah ke provinsi kaya hutan di Indonesia Timur. Dalam 20 tahun terakhir, 10 provinsi kaya hutan di Indonesia menyumbang 65.5% dari total deforestasi pada 20 tahun terakhir. Berikut infografis deforestasi tahun 2001-2020.
Dari data tersebut menunjukkan Indonesia sendiri memiliki tantangan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup terkait kondisi hutan yang terancam oleh deforestasi, perubahan iklim bahkan perburuan liar.
Namun demikian, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dengan memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang melakukan deforestasi, memperkuat partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan hutan serta meningkatkan upaya restorasi hutan dan pengembangan tekhnologi hijau.
Ekosistem hutan juga komponen penting dari keanekaragaman hayati dunia, karena di dalam hutanlah hidup lebih banyak spesies dibandingkan kebanyakan ekosistem lainnya. Keberlimpahan makhluk hidup serta interaksinya dengan lingkungan menjadikan hutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang sangatlah kompleks.
Jadi tidaklah salah jika hampir semua kebutuhan pangan kita berasal dari hutan. Mulai dari pemasok oksigen yang paling besar, penyedia makanan terbaik dan masih banyak lagi.
Hutan Sebagai Pengontrol Iklim
Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada 12 Januari 2023 menyatakan bahwa tahun 2022 menjadi tahun terpanas secara global. Sampai hari ini, bumi kita mencatat kenaikan suhu mencapai 1.15 °C lebih tinggi dari suhu sepanjang periode pra industri (1850-1900).
Padahal baru naik 1.15 °C saja sudah panas begini. Apalagi lebih dari itu ya? Di bawah ini adalah gambaran titik panas bumi jika kenaikan rata-rata suhu bumi terus meningkat.
Sebenarnya apa saja sih penyebab bumi bisa memanas seperti sekarang? Dan apa hubungannya dengan hutan kita?
Kita tahu hutan sebagai pemasok oksigen yang cukup tinggi. Oksigen sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup semua makhluk hidup. Saat banyaknya gas CO2 (karbondioksida) , yang berada di udara bertebaran, maka akan diikat oleh hutan melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis akan menghasilkan gas oksigen kembali. Demikian siklus ini terus berlangsung selama hutan atau tumbuhan masih ada.
Semua proses tersebut tentu akan menekan laju emisi karbon sebagai pemicu perubahan iklim di seluruh dunia. Nah, emisi karbon itu apa?
Emisi Karbon dan Penyebabnya
Menurut KBBI, emisi (n) fis, pemancaran cahaya, panas, atau elektron dari suatu permukaan benda padat atau cair.
Emisi berkaitan dengan proses pemindahan suatu zat atau benda. Pada umumnya, emisi digunakan untuk emisi panas, emisi cahaya atau emisi karbon.
Nah, emisi karbon itu sendiri adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran segala senyawa yang mengandung karbon. Seperti gas karbondioksida, N₂O (Dinitrogen oksida), gas metana atau CH4, HFC (Hidrofluorokarbon) dan CFC (klorofluorokarbon), solar, bensin, LPG, serta bahan bakar fosil lainnya.
Fenomena emisi karbon merupakan proses pelepasan karbon ke lapisan atmosfer bumi. Saat ini emisi karbon menjadi satu penyumbang terjadinya perubahan iklim dan pemanasan bersamaan dengan emisi gas rumah kaca. Keduanya menyebabkan naiknya suhu bumi atau efek rumah kaca.
Menurut data yang diterbitkan dalam Jurnal of Cleaner Production melalui inventarisasi kontribusi ICT Information and Communication Technology) perangkat pintar terdiri atas PC (Personal Computer), laptop, monitor, smartphone dan tablet serta infrastruktur pusat data dan jaringan telekomunikasi menemukan fakta jejak karbon yang mengejutkan.
Kontribusi ICT terhadap jejak karbon global diperkirakan akan tumbuh dari kurang lebih 1 % pada tahun 2007, naik menjadi 3.5 % pada tahun 2020 dan mencapai 14 % tahun 2040.
Dampak Buruk Emisi Karbon
Pelepasan senyawa karbon di udara memberi dampak negatif terhadap lingkungan, kesehatan dan ekonomi.
Dampak emisi karbon terhadap lingkungan adalah meningkatnya suhu bumi per tahun. Akibatnya es di kutub mencair dan cakupan gletser berkurang sehingga permukaan air laut menjadi naik. Potensi banjir di daerah pesisir juga terancam akibat suhu bumi meningkat.
Abrasi pantai pun meningkat di sebagian wilayah karena musim dingin yang lebih sejuk dan lapisan es yang mengecil.
Curah hujan juga akan meningkat sehingga menyebabkan banjir di mana-mana. Belum lagi kebakaran hutan akibat gelombang panas yang kian merambah. Iklim yang tidak menentu ini berimbas pula pada stresnya para satwa liar.
Dampak emisi karbon terhadap kesehatan adalah munculnya penyakit baru yang berevolusi, masalah dehidrasi, masalah serius pada pernafasan dan kardiovaskular dan berbagai jenis penyakit kanker akibat udara yang tidak lagi bersih. Selain itu juga penularan penyakit sangat cepat baik melalui makanan, perantara air maupun hewan pengerat seperti tikus.
Dampak emisi karbon terhadap ekonomi ditandai pada sektor pertanian, kehutanan, pariwisata dan lainnya. Di mana jika cuaca tidak menentu misalnya, pada sektor pertanian pastinya para petani tidak dapat menikmati hasil panennya dengan baik.
Dengan banyaknya dampak yang dihasilkan dari emisi karbon. Tentu ada cara yang bisa kita lakukan agar emisi karbon yang ada minimal berkurang.
Cara Mengurangi Emisi Carbon
Berikut adalah infografis dari beberapa langkah yang bisa kita lakukan #BersamaBergerakBerdaya hanya #UntukmuBumiku dalam mengurangi emisi karbon yang telah ada.
Indonesia adalah negara yang paling beruntung dalam menjaga iklim. Hal ini disebabkan memiliki hutan yang luas dan dikelilingi lautan. Hutan dan laut sebagai penyedia unsur karbon terbanyak.
Di hutan kita memiliki cadangan karbon yang cukup tinggi. Demikian juga di laut yang dikenal dengan blue carbon. Bahkan blue carbon berpotensi mengurangi emisi karbon lebih besar dibandingkan hutan daratan.
Blue Carbon dan Peranannya
Blue Carbon adalah istilah yang digunakan untuk cadangan emisi karbon yang diserap, disimpan dan dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut.
Saat ini perkembangan blue carbon di Indonesia banyak terfokus pada ekosistem mangrove. Meskipun ekosistem padang lamun, lahan gambut, estuaria atau rawa air payau atau rawa air asin dan terumbu karang juga berperan di dalamnya.
Hutan mangrove mampu menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya kemudian diubah dalam bentuk biomassa tubuh.
Potensi blue carbon di Indonesia sangatlah besar. Yakni mencapai 3.4 Giga Ton (GT) atau sekitar 17 % dari blue carbon dunia. Ekosistem blue carbon yang berada di pesisir amatlah penting, karena dalam jangka panjang penyerapan dan penyimpanan karbon yang baik dan terjaga akan membantu dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (Puslitbanghut) kementerian lingkungan hidup dan kehutanan menyatakan bahwa cadangan karbon terbagi dalam 5 sumber.
1. Biomassa vegetasi hidup atau di atas permukaan tanah.
2. Biomassa vegetasi hidup yang berada pada bagian bawah permukaan tanah seperti akar
3. Serasah atau tumpukan tumbuh-tumbuhan yang sudah mati
4. Kayu mati
5. Lapisan dalam tanah
Adanya G20 dan Manfaatnya Bagi Indonesia
G20 (Group of Twenty) adalah sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia. Forum ini terdiri atas 19 negara dan satu lembaga Uni Eropa.
Manfaat Indonesia mengikuti forum G20 ini adalah mendapatkan informasi dan pengetahuan lebih dini tentang perkembangan ekonomi global, potensi resiko yang dihadapi serta kebijakan ekonomi yang diterapkan negara lain terutama negara maju. Dengan begitu, Indonesia mampu menyiapkan kebijakan ekonomi yang tepat dan terbaik nantinya.
Berikut adalah cuplikan dialog menteri Lingkungan hidup tentang G20 tentang kesepakatan bersama bidang lingkungan hidup dan keberlanjutan iklim.
Persamaan antara Kolecer dan kincir angin dalam menangkap angin guna menghasilkan energi. |
3 Langkah Kecil Zero Waste dari Rumah yang Menjadikan Lingkungan Ramah
Banyaknya cadangan karbon di hutan dan blue carbon di lautan tidaklah cukup untuk bisa menyembuhkan bumi kita yang telah lama sakit. Harus ada langkah kecil yang mendunia dari diri kita sendiri. Langkah kecil itu meskipun tidak terlihat oleh dunia, namun alam pastilah sangat berterimakasih pada kita. Langkah kecil itu pula bisa kita lakukan dari rumah kita sendiri. Yap, zero waste dari rumah menjadikan lingkungan lebih ramah. Seperti apakah langkah kecil itu?
1. Pemisahan Sampah Organik dan Anorganik
Sisa potongan sayur, kulit bawang, kulit telur yang bisa membusuk atau terurai lebih cepat, dapat kita gunakan sebagai pupuk bagi tanaman. Tanaman yang menggunakan pupuk organik cendrung memiliki rasa yang asli, lebih krenyes dan segar karena saat kita butuh kita tinggal memetiknya saja. Kulit telur juga bisa dijadikan mulsa bagi tanaman kita atau sekedar dijadikan masker wajah. Tapi harus dicuci bersih, dijemur dan dihaluskan ya.
Air cucian beras jika direndam dalam satu hari satu malam mampu memberikan nutrisi bagi tanaman kita juga loh. Bahkan air cucian ikan pun bisa dijadikan pupuk organik cair.
Minyak jelantah jangan pernah dibuang, karena akan mengganggu lingkungan terutama tanah sehingga kehilangan fungsinya. Minyak jelantah bisa kita buat menjadi sabun atau lilin tentu harus ditambahkan zat aromaterapi agar bau jelantahnya sedikit berkurang.
Kantong plastik kalau perlu diminimalisir atau tidak ada sama sekali. Sebelum belanja kita telah sigap membawa kantong sendiri berupa goodie bag dan perlengkapannya. Kedengarannya ribet ya. Tapi dengan cara ini kita telah mengurangi sampah plastik di rumah kita sendiri.
2. Penggunaan Listrik Seperlunya
Pastikan saat kita meninggalkan rumah, listrik dalam keadaan padam. Jika ada ruangan yang tidak terkena cahaya terkadang listrik masih menyala. Padahal hal kecil inilah yang bisa mempengaruhi perubahan iklim.
Dalam penggunaan laptop atau smart phone seringkali diabaikan. Kadang colokan charger terus menerus terpasang apalagi jika batere dari keduanya telah soak. Solusinya, jika memiliki uang yang cukup gantilah charger baru.
Demikian juga dalam penggunaan AC ruangan yang seringkali berlebihan. Belum lagi lemari pendingin dan masih banyak alat rumah tangga berpotensi mempengaruhi emisi karbon.
Tidak salah sih dengan adanya mereka. Yang salah adalah cara kita yang belum bijak menggunakannya dengan tepat.
3. Ganti Tisu dengan Sapu tangan
Tetap berusaha untuk menggantikan tisu dengan sapu tangan. Kedengarannya agak aneh sih ya. Namun dengan kita tidak menggunakan tisu, ternyata kita telah menyelamatkan hutan yang ada.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh WWF (World Wildlife Find) untuk membuat 3.2 juta ton tisu toilet, produsen harus menebang 54 juta batang pohon. Jadi bisa dibayangkan ya berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk memenuhi permintaan tisu dari 260 juta masyarakat Indonesia?
Itulah tiga langkah kecil zero waste ku dari rumah. Sebenarnya masih ada lagi langkah kecil lain yang aku lakukan, namun belum konsisten dalam menjalankannya.
Walaupun demikian Aku tidak pesimis, setidaknya ketiga langkah kecil itu akan mengawali langkah-langkah lain menuju lingkungan alam yang indah dan asri. Tetap #BersamaBergerakBerdaya tentunya #UntukmuBumiku agar Aku tetap menikmati suasana alam yang segar dan menenangkan. Semoga tiga langkah kecil ini akan dinikmati pula oleh cucu-cucuku pada generasi yang entah ke berapa. Aamiin Allahumma aamiin.
Nah, teman-teman “Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa sih? Boleh dong tulis di kolom komentar ya!”.
Referensi:
https://lindungihutan.com/blog/cara-mengurangi-emisi-karbon/
https://www.walhi.or.id/kondisi-lingkungan-hidup-di-indonesia-di-tengah-isu-pemanasan-global
https://www.fimela.com/lifestyle/read/4945631/hari-bumi-ketahui-10-masalah-lingkungan-terbesar-tahun-2022
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20221229203530-199-893866/alasan-sungai-di-ri-amat-tercemar-mikroplastik-terutama-di-jatim
https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/indonesia-masuk-daftar-negara-dengan-hutan-terluas-di-dunia
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/5206/kualitas-lingkungan-hidup-indonesia-meningkat-dalam-lima-tahun-terakhir
https://coaction.id/katalog/dampak-perubahan-iklim-id/
DK, Wardhani, 2019, Belajar Zero Waste : Menuju Rumah Minim Sampah, penerbit Bentala Kata, Cetakan kedua, Cengkareng, Jakarta Barat.
DK, Wardhani, 2020, Bye-bye Sekali Pakai, cetakan pertama, penerbit Bentala Kata, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-singkawang/baca-artikel/14747/Apa-itu-G20-dan-Manfaatnya-untuk-Indonesia.html
No comments
Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan tinggalkan pesan atau saran seputar tema pembahasan :).