Tradisi
Mudik Yang Selalu Ngangenin
Posted by ana_susan I May
24, 2019
Mengulas tentang mudik seolah mengingatkanku akan moment
terindah tiga tahun yang lalu (2016). Linangan air mata membasahi pipiku saat
bertemu sanak saudara di Bandara Sultan Iskandar Muda. Wajah-wajah mereka
terasa asing bagiku. Yah, wajar, karena aku baru bertemu mereka setelah 9 tahun
kemudian.
***
Bagi sebagian besar orang pasti melakukan tradisi mudik
setiap tahunnya. Tak peduli seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk menuju kampung
halaman. Tak peduli secapek apapun perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tak peduli
sesingkat apapun pertemuan yang akan berlangsung.
Keinginan kuat untuk bertemu sanak keluarga, mengalahkan
rasa lelah dan biaya yang besar itu. Bercengkerama dengan mereka, mengingat
nostalgia kita saat kecil di rumah yang telah kita tinggalkan. Moment terindah
itu akan menjadi kenangan setiap tahunnya.
Tidak
Bisa Mudik
Jujur, untuk bercerita tentang pengalaman mudik bagiku agak
berat. Tahun- tahun itu harus dengan menahan air mata tidak bertemu dengan
keluarga. Jarak tempuh kampung halamanku harus menyeberangi lautan. Melewati darat
bisa sampai 4-5 hari dengan biaya yang hampir sama jika aku menempuhnya melalui
udara.
Sebenarnya bukan masalah dari biayanya sih. Cuma aku ingin
membuktikan bahwa aku akan pulang jika aku telah memiliki pekerjaan yang tetap
dengan adanya usaha sekolahan sekarang ini.
Usaha sekolah yang dirintis oleh suami mulai dari nol
hingga Alhamdulillah hampir mencapai 20 siswa untuk sekarang. Bukanlah jumlah
yang banyak untuk berbagai siswa dan siswi dengan karakter unik. Namun menurut
kami itu adalah jumlah yang luar biasa.
Bersama dengan perkembangan itulah, di awalnya kami menahan
untuk tidak mudik sama sekali. Kami hanya menelpon untuk melepas kerinduan.
Mudik
yang Haru Biru
Tahun 2016, tepatnya setelah
11 tahun tsunami. Aku beserta suami dan anak-anakku menginjak kembali bumi Aceh
lon sayang. Bumi kelahiranku. Bumi tempat aku dibesarkan bersama mama dan papa.
Tapi harus kutinggalkan untuk ikut suami ke pulau seberang.
Sepanjang perjalanan menuju Bandara
Sukarno Hatta, bibirku tak berhenti bertasbih dan bertahmid. Memuji kebesaran
Nya dan ke Maha BaikanNya pada kami. Sekian tahun yang cukup lama menahan rasa
rindu itu.
Aku merasa tidak percaya,
sampai-sampai menepuk-nepuk pipiku yang mulai basah dengan linangan air mata. Menatapi
gedung-gedung pencakar langit di seputaran Jakarta. Sambil berkata “Apakah aku
benar akan menaiki pesawat itu untuk menuju kampung halaman?” ku cubit-cubit
lagi pipiku sambil berkata, apa aku mimpi Ya Rabb. Aku pun mengucapkan terima
kasih pada suami yang telah mengizinkan dan memudahkan untuk bertemu mereka
yang sangat aku cintai.
Pesawat udara siap-siap
terbang menuju tanah rencong. Sepanjang jalan melewati cerahnya langit seolah
menghiasi cerahnya suasana hatiku saat itu. Dalam pesawat aku tidak tidur
sekejappun. Kupandangi wajah suami dan anak-anakku yang capai sepanjang
perjalanan. Apalagi suami yang harus memegang tas putriku yang bungsu yang
berisi pakaiannya.
Pesawat mulai landing, kulihat
sekitarnya masih ada bukit-bukit barisan yang masih hijau. Berbeda dengan
Jakarta yang telah dipenuhi gedung-gedung. Sampai-sampai untuk menikmati burung
berterbangan saja tidak pernah kulihat sama sekali.
Keluarga aku kabari saat kami
naik pesawat dari Jakarta. Niatnya sih ingin memberi kejutan tanpa mengabari
mereka. Tapi kami takut jika mereka shock dengan kehadiran kami secara
tiba-tiba. Akhirnya saat kami kabari, mereka telah menunggu beberapa jam
sebelum pesawat landing.
Dulu sebelum berangkat ke
pulau seberang kami masih berempat, anak pertamaku baru berusia 2 tahun
sedangkan yang kedua baru 6 bulan. Namun saat kami mudik setelah bertahun-tahun,
kami telah berlima. Dimana anak pertamaku telah berusia 11 tahun, yang kedua 9
tahun dan yang ketiga baru 5 tahun.
Mereka telah menunggu kami. Dari
kejauhan, pandanganku mulai kabur dengan suasana yang asing. Adik bungsuku
menghampiriku sambil memelukku. Sebelum menikah hingga sekarang aku masih
sayang padanya. Dia sangat dekat padaku. Waktu aku menikah dia sangat sedih
karena kehilanganku. Ditambah aku harus pergi jauh.
Beberapa saat kemudian, mama
menyampiriku. Memelukku dan berkata, Alhamdulillah ya nak kita bertemu lagi dan
kalian sudah sampai. Kemudian papa yang memelukku erat. Aku sangat dekat dengan
papa. Kata mereka aku adalah anak kesayangan mereka. Allah Maha adil, Allah
menjauhkan aku dari mereka setelah menikah, agar tidak ada rasa kecemburuan di
antaraku dan saudaraku.
Beberapa langkah ku berjalan,
adikku yang laki-laki juga menghampiriku. Semua sosok-sosok itu telah berubah. Dia
telah menjadi laki-laki dewasa dengan sikapnya yang bersahaja. Berbeda dengan yang
dulu. Rambutnya yang panjang masih mengikuti trend remaja saat itu.
Demikian papa dan mama,
wajahnya yang dulu masih kenyal, sekarang mulai keriput. Rambutnya juga mulai
beruban. Mereka menciumi cucu-cucu mereka sambil memeluk dan menangis karena
haru. Rasa syukur tak henti kupanjatkan pada Rabbku yang Maha Baik.
Mudik
Sekarang
Tahun ini, aku tidak tahu pasti, apakah aku sekeluarga bisa
mudik atau tidak. Mengingat kami harus mengawasi bangunan sekolah untuk
pertambahan siswa tahun berikutnya.
Aku tidak begitu berharap untuk pulang, meskipun mama dan
papa sudah menyiapkan dana untukku. Namun aku menolaknya, karena aku telah
berjanji untuk tidak menyusahkan mereka lagi. Jika pun kami harus mudik, kami
akan berangkat bersama-sama.
Semoga Allah memudahkan kami mampu mudik setiap tahunnya. Doakan
ya teman-teman. 😊
#Day_18
#30HariKebaikanBPN
No comments
Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan tinggalkan pesan atau saran seputar tema pembahasan :).