Sampah, Kemanakah Kau Harus Pergi?
Posted by ana_susan, 21 Mei 2020
Foto: pexels.com
“Jika
saja sampah dapat bersuara, mungkin dia akan mengatakan mengapa aku harus
dibuang? Atau mungkin juga dia bisa bertanya bukankah manusia sebagai
penyebabnya?”
***
Apa yang terbayang oleh kita, manakala
mendengar kata sampah? Jijik, kotor, bau dan masih banyak sebutan buruk yang
disematkan padanya. Kita juga akan marah jika seseorang mengatakan kita sampah?
Mengapa? Yah, karena pandangan semua manusia mengatakan bahwa sampah itu
sesuatu yang buruk.
Aku ingat saat masih kecil dulu.
Waktu itu mama menyuruhku untuk membuang sampah di dekat rumah. Aku selalu
menolaknya dengan alasan karena pada jarak hampir dua meter dari tempat sampah,
bau tidak enak telah tercium di hidungku.
Belum lagi banyak lalat yang
mengerubunginya, ditambah bercampurnya segala macam jenis sampah seperti sampah
anorganik (tidak terurai) : plastik, kaleng, besi dan sampah organik (terurai)
: dedaunan, rumput kering, kertas dan masih banyak lagi.
Jika tempat pembuangan sampah itu
terkena hujan, dan belum sempat untuk dibakar, maka bertambahlah bau ke
mana-mana. Namun, pada saat dibakar, muncul masalah baru, yaitu asap yang bisa
melekat ke baju saat dijemur, iritasi mata, bahkan terhirup.
Itulah sekelumit sampah yang
kukenang di masa lalu. Namun sekarang aku sadar, ternyata selama ini aku salah
dalam menanganinya. Aku tidak mendengar dia menjerit-jerit setiap kubuang
dengan bercampur baur. Aku tidak merasakan tangisannya yang memanggil-manggil
aku untuk diolah. Padahal dia telah berkata dan selalu berkata “Aku (sampah)
ini tidak muncul jika tidak ada sisa proses konsumsi dari kamu (manusia)?”
Mengapa sampah berani berkata
demikian? Yah, betul. Sampah tidak akan pernah disebut dengan sampah selama
belum dikonsumsi. Misalkan saja air minum kemasan atau makanan ringan potatoes. Setelah kita minum atau makan
yang tersisa adalah kemasan kosong. Setelah kosong, pasti larinya ke tempat
sampah.
Kita mengira masalah kita telah
selesai. Padahal kenyataannya plastik makanan atau minuman tadi tidak hilang
dan akan terurai selama ratusan tahun. Dia hanya berpindah tempat saja.
Kalaupun di rumah kita ada yang memungut sampah-sampah tersebut dan selanjutnya
dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Sampah), maka itu sama saja. Bedanya hanya
berpindah tempat.
Jadi, kemanakah seharusnya sampah
itu pergi? Sadarkah kita, seharusnya sampah itu hidup berdampingan dengan
mahluk hidup lain, bukan malah menyakiti. Terlalu banyak manusia menyalahgunakan
keberadaan sampah itu. Misalnya saja terjadinya longsor di TPA Leuwigajah,
sebagai bencana nasional yang menelan ratusan korban jiwa, menimbun kampung dan
lahan Pertanian.
Belum lagi jika hujan turun, sampah
yang berada di TPA akan bermuara ke lautan. Sampai di laut, sampah itu akan
menyakiti biota-biota laut. Bahkan jika ada burung-burung yang akan memangsa
ikan misalnya, pasti secara tidak langsung ikan yang mengkonsumsi sampah-sampah
ikut termakan oleh burung. Seiring dengan waktu, burung itu akan menemukan
ajalnya. Jadi jangan heran saat burung telah menjadi bangkai, maka akan
ditemukan berbagai jenis sampah di dalam perutnya.
Miris memang melihat proses sampah
yang telah menjelajah begitu jauhnya. Padahal jika sampah itu kita awali dari
rumah kita sendiri tentunya tidak akan sampai terjadi demikian.
Kita memang tidak bisa menjadi
selevel Lauren Singer yang hanya menghasilkan satu stoples sampah dalam kurun
waktu dua tahun tapi setidaknya kita bisa memulainya dengan cara bertahap.
Tahapan itu bisa berupa langkah-langkah pasti yang memotivasi kita untuk terus
bergerak menjadikan sampah yang bermanfaat. Langkah apakah itu?
1. Mencegah, Memilah dan Mengolah
Apa
yang dicegah? Yaitu barang-barang yang masuk ke rumah kita. Misal saat kita
belanja ke pasar, selama ini yang kita tahu pasti banyak mengumpulkan plastik.
Mulai dari beli bawang merah pakai plastik, sayur, ayam, bumbu dapur lainnya
yang semuanya memakai plastik. Itu terhitung untuk satu kali belanja. Bagaimana
jika seminggu ada tiga sampai empat kali belanja dengan pola yang sama.
Kebayang kan berapa jumlah plastik yang dihasilkan di rumah kita.
Itu
baru plastik sebagai sampah anorganik, belum lagi sampah organik dari sisa-sisa
dapur. Seperti sisa potongan sayur, kulit buah, kulit bawang, yang semuanya
bisa diolah menjadi pupuk organik baik yang padat maupun cair.
Mencegah
sampah plastik dengan membawa tas belanja yang bisa dicuci ulang, mengumpulkan
sampah organik sisa di dapur untuk dijadikan pupuk merupakan tindakan yang
tepat untuk memberikan jalan terbaik bagi si sampah agar dia tidak kehilangan
arahnya.
2. Menghitung Pola Konsumsi
Keluarga
Pola
konsumsi keluarga sangat menentukan seberapa besar sampah itu dihasilkan.
Semakin banyak kebutuhan makanan atau minuman, maka akan semakin banyak pula
sampah yang dihasilkan.
Untuk
meminimalisir jumlah sampah yang banyak, kita dapat melakukan tantangan
penimbangan sampah. Baik sampah organik maupun anorganik yang telah kita pilah
Tujuannya adalah untuk mengerem konsumsi yang berlebihan pada kemasan.
Jika
hal ini dilakukan secara rutin, maka kita akan sangat hati-hati, jika sampah
yang tidak mudah terurai seperti
plastik, botol kaca untuk bertengger di rumah kita.
3. Melakukan Gerakan 5R Atau 5M
Bea
Johnson, pencetus zero waste home dengan konsep 5R telah menerapkan konsep ini
dimulai dari rumahnhya. Hal ini telah dilakukannya sejak tahun 2008. Yaitu Refuse,
Reduce, Reuse, Recycle, Rot atau 5M yaitu Menolak, Mengurangi, Menggunakan
kembali, Mendaur ulang, Membusukkan.
Apa
itu? Menolak semua kemasan plastik,
botol, sterofoam atau apapun yang tidak bisa terurai. Mengurangi jenis sampah yang akan masuk ke rumah. Jika telah masuk
dan tidak mungkin untuk dibuang apalagi dibakar, maka akan dipakai lagi dengan
cara menggunakan kembali barang
tersebut menjadi barang yang bermanfaat seperti dijadikan pot bunga atau hiasan
craft sebagai tindakan daur ulang. Untuk
sampah yang bisa terurai bisa diakukan dengan cara dibusukkan.
4. Kerjasama dengan Semua Anggota
Keluarga
Ibarat
dalam sebuah perusahaan, jika kita berkerja sendirian, maka kerjaan kita akan
menumpuk dan tidak sesuai deadline.
Ujung-ujungnya kesehatan terganggu, mudah stres bahkan depresi hasilnya tidak
memuaskan. Demikian juga dalam penanganan sampah.
Jika
apa yang kita impikan, kita kerjakan sendiri, maka apapun itu kita akan capek,
lelah. Yang ada hanya omelan sana sini seputar rumah. Padahal adanya imbauan
untuk membuang sampah sesuai tempatnya dan tiga poin di atas, maka kita tidak
akan lelah. Bahkan lingkungan sekitar tempat tinggal kita akan selalu dalam
keadaan sehat.
Itulah beberapa langkah yang
kulakukan untuk mengarahkan sampah itu agar dia tidak terombang ambing atau
kehilangan arahnya. Percayalah, sampah itu akan mengucapkan terima kasih pada
kita, manakala dia diperlakukan dengan baik dan ditangani dengan bijak.
Hasilnya,
dia akan berkata “Lihatlah tanaman yang subur ini adalah hasil dari tanah yang
kau lakukan dari dari pengolahan sampah organik yang terurai menjadi pupuk atau
lihatlah craft ini hasil dari sampah anorganik (plastik) hasil kreativitasmu
terhadap aku”.
Jadi
yakinlah apapun yang kita lakukan akan kembali kepada kita baik itu berupa
kebaikan maupun keburukan.
No comments
Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan tinggalkan pesan atau saran seputar tema pembahasan :).