Tiga Pilar Perempuan dari Ibu

Tiga Pilar Perempuan dari Ibu

By ana_susan posted in 14 Desember 2020



Ibuku, dialah guru pertamaku. Sosok yang tegar itu masih kurasakan tetap tegar sampai sekarang. Kulitnya yang mulai keriput. Sorot matanya yang mulai redup. Jalannya yang sedikit membungkuk dan jumlah giginya yang hilang satu persatu. Belum lagi pendengaran yang berkurang, ditambah lagi ingatannya yang timbul tenggelam.

Tidak ada yang bisa menandinginya dalam durasi bekerja yang cukup lama. Tidak pula dalam hal ketangkasan. Apalagi kreatifitas.  Kegigihannya dalam mencari sesuap nasi membuatku salut. Dia wanita yang serba bisa. Multi tallent itulah julukan yang tepat untuk dirinya. Mulai dari menjahit, memasak hingga hitung-menghitung dan masih banyak lagi.

Jahitannya sangat rapi. Banyak pelanggan yang tidak cukup sekali dua kali untuk memesan jahitan padanya. Variasi model yang disuguhkan, manik-manik yang terjahit rapi dan indah menambah nuansa kecantikan bahan kain yang awalnya terlihat biasa. Kualitas benang, kancing dan hal yang berhubungan dengan atribut pakaian tidak sembarangan untuk dipilihnya. Tidak peduli seberapa mahal. Yang terpenting menjaga kualitas dan kerapian itu jauh lebih penting meskipun untung yang didapatkan sedikit.

Demikian juga dalam hal masakan. Dia selalu mementingkan kualitas rasa dan penampilan masakan. Untung sedikit tidak mengapa. Yang terpenting pelanggan puas dan selalu memesan padanya kembali. Masakan yang paling kukangeni adalah ikan sunti. Ikan sunti adalah ikan kayu yang diasamkan. Sedangkan ikan kayu adalah ikan tongkol yang telah dikukus dan dikeringkan melalui panas matahari.

 

Dialog yang Menyayat Hati

Sudahlah, terlalu banyak yang kutulis tentangnya membuatku semakin merasakan kerinduan yang mendalam. Rasa rindu yang membumbung tinggi menjadikan air mataku mengalir. Apalagi menjelang lebaran. Satu kalimat yang membuat hati ini resah pada saat dia bertanya,

“ Lebaran ini pulang, Nak?”

Seketika aku terdiam sejenak, menahan genangan air mata yang akan tumpah. Kutarik nafas perlahan hingga tak terdengar di telinganya. Dia pun bertanya,

“Kenapa diam, Nak?”

Akupun langsung menjawab.

“Insha Allah, Bu”.

Padahal uang tabunganku dan suami belum tentu cukup untuk pulang kampung. Kadang dia selalu menawarkan uangnya untuk kami. Namun, kami selalu menolak dengan alasan bahwa aku sudah berkeluarga dan bukan tanggungan orang tua ku lagi. Apalagi uang tiket pesawat  yang harus dibelikan bertambah menjadi lima orang. Aku pun meyakinkan dirinya. Jika ada rezeki dan Allah mengizinkan kami untuk pulang, kami pun akan pulang.

Saat aku merasakan permasalahan sebagai ibu maupun istri, dia tidak pernah membela salah satu pihak. Apalagi ke arahku. Awalnya aku sedih namun inilah hidup. Semua butuh proses untuk menuju kedewasaan dan kematangan. Hingga suatu hari nanti akan meraih kebahagian yang hakiki.

Ibuku, dialah guru pertamaku. Pengetahuannya sangat luas. Kadang sesekali dia suka berpantun. Pantunnya bagus sekali. Peribahasa pun sering terlontar dari mulutnya saat dia bercakap padaku. Nasehat-nasehatnya sering terngiang di telingaku dan membuatku selalu kuat dan tegar menjalani hidup dari kecil hingga berumah tangga.

 

Tiga Hal yang Harus Ada Pada Diri Perempuan

Yah benar. Ibuku, dialah guru pertamaku. Pernah suatu ketika aku lomba hitung-hitungan menggunakan bilangan ratusan. Aku yang saat itu pernah belajar sempoa tingkat bisa kalah dengannya. Aku jadi malu.

Kata ibu, “Ayoo, masak kalah cepat sama ibu yang tidak belajar sempoa”.

Wajahku pun memerah sambil menahan malu. Ibuku, dialah guru pertamaku. Ada tiga hal yang selalu diajarkan olehnya. Tiga hal yang harus ada dalam diri perempuan selain memiliki kecantikan. Tiga hal ini pula yang membuatku selalu semangat menjalani hidup, penuh dengan kepercayaan diri dan tidak pernah berhenti meningkatkan potensi.

 

1. Perempuan Itu Harus Maju Pemikirannya

Kata ibu, perempuan itu harus maju pemikirannya. Artinya harus sekolah yang tinggi. Kalau perlu sampai profesor sekalian. Jangan seperti ibu, mau sekolah saja ibu lalai. Soalnya ibu dulu suka main sama teman-teman ibu. Jadinya sekolah terbengkalai. Padahal orang tua ibu mampu untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang tinggi. Sekarang ibu menyesal. Jadi ibu tidak mau anaknya sepertinya. Mengapa?

Yah, karena perempuan itu nanti akan jadi seorang ibu setelah menikah. Dia harus punya pengetahuan yang banyak agar segala tampungan permasalahan anaknya bisa dijawab olehnya. Dia harus lebih pintar dari anaknya, agar sang anak tidak salah arah manakala butuh wejangan yang tepat.

Kalaupun perempuan telah sekolah tinggi, pada akhirnya dia tetap dirumah untuk mengasuh sang anak. Itu tidak mengapa. Toh ilmu yang telah dipelajarinya akan bermanfaat bagi anak-anaknya maupun sekitar tempat tinggalnya.

Bukan tidak mungkin anak-anak yang hebat dan sukses itu terlahir dari ibu yang hanya di rumah saja meskipun dia telah berpendidikan tinggi. Sebaliknya, pendidikan yang tinggi itu menjadi nilai tambah untuk sang ibu dalam mengasuh anak-anaknya. Apalagi kalau bukan untuk mempersiapkan generasi yang unggul di masa depan, bukan?.

 

2. Perempuan Itu Harus Maju Keahliannya

Kata ibu, perempuan itu juga harus maju keahliannya. Artinya dia harus punya keterampilan apa saja selain berpendidikan. Seorang yang cerdas atau berpikiran maju, tapi tidak terampil maka dia akan selalu mempermasalahkan dengan ilmu yang sudah diperoleh. Sedangkan keterampilan lain yang dimiliki tidak ada. Jadi harus cerdas sekaligus terampil. Cerdas tanpa terampil, maka dia akan tertinggal di belakang. Tapi jika kedua-duanya dimiliki maka, perempuan tersebut akan menjadi sorotan.

 

3. Perempuan Itu Harus Maju Tingkah Lakunya

Kata ibu, selain berpendidikan dan punya keterampilan, perempuan juga harus maju tingkah lakunya. Akhlak atau moralnya terjaga dengan baik. Pendidikan tinggi, terampil tapi tidak bermoral, mungkin orang akan beranggapan sebagai perempuan yang sombong dan tidak berakhlak. Kalau dalam dunia kerja misalnya, pintar, terampil tapi tidak jujur pasti ujung-ujungnya akan dipecat. Jadi akhlak itu haruslah menjadi lebih baik.

Kenapa? Agar anak-anak yang diasuhnya akan menjadi generasi yang cerdas, terampil dan berakhlak mulia.

 

Peran Laki-laki yang Penting

Ketiga hal itu kata ibu sangat penting. Namun, peran laki-laki juga tidak kalah pentingnya. Laki-laki harus mendukung pendidikan perempuan dan mengasah keterampilannya. Jangan salahkan perempuan jika muncul anak-anak yang mencuri, mencaci maki, berkata kasar, tidak percaya diri, lemah, tidak kreatif, dan masih banyak keburukan dan kejahatan yang terjadi.

Kalau saja pendidikan perempuan diperhatikan, penambahan skill dimantapkan serta rutinitas ilmu agama diperdalam, pasti semua hal yang buruk pada anak itu tidak terjadi. Akan tetapi yang muncul adalah generasi yang kuat dan mandiri atau tidak bergantung pada siapapun serta berakhlak baik.

Ibuku, dialah guru pertamaku. Tidak ada yang bisa menandingi kecekatannya dalam bekerja. Tidak ada yang bisa menandingi ketulusannya dalam kasih sayang. Tidak ada yang menandingi kelembutannya dalam bertutur kata. Tidak ada yang menandinginya dalam pengetahuan. Dia serba bisa. Dia mengetahui segala hal. Aku banyak belajar darinya. Budi baiknya belum mampu kubalas dengan perbuatan apalagi materi. Namun dia tetap tersenyum tanpa mengharapkan semua itu.

Tahukah apa yang paling diinginkannya dariku? Yah, dia hanya ingin aku selalu bahagia. Bahagia dunia dan akhirat padahal belum tentu hatinya secerah senyumnya. Dia selalu terlihat tegar meskipun mungkin dia ada masalah.

 

Ibuku, dialah guru pertamaku...

 

Pandangan sejuk tertuju di hamparan bukit hijau yang dinaungi oleh atap langit. Langit yang biru tetap berdiri tegak dengan adanya tiang-tiang dari gunung yang menancap dari bumi sesuai kehendak sang penciptanya. Tidak ada yang tidak sempurna dari semua bentuk itu. Seiring dengan nafasku yang bergerak perlahan menghirup udara yang segar di senja itu. Burung-burung mulai kembali ke peraduannya. Aku pun kembali menata hatiku dan diriku untuk selanjutnya menorehkan lembaran-lembaran indah pada keesokan harinya.

Satu kalimat yang tidak pernah kulupakan dari ibu, “Jadilah perempuan yang mandiri, terampil dan siap berjuang dalam hidup”. Hidupmu sekarang berada di bawah nahkoda. Kamu harus pintar mengikuti alurnya. Saling mengisi, agar kapalmu tidak karam di tengah laut apalagi jika ada badai menghadang. Sampai suatu ketika, kamu akan sampai di bahtera yang penuh dengan cinta.

Insha Allah akan kuingat selalu tiga hal itu Bu. Karena aku tahu kau adalah ibuku sekaligus guru pertamaku. 

Tulisan ini dikutsertakan pada lomba blog yang diadakan oleh Female Blogger of Banjarmasin.





No comments

Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan tinggalkan pesan atau saran seputar tema pembahasan :).