“Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk kemudian
ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan”
(Hikayat tiga S. Gegge Mappangewa).
Kebahagiaan hanya bisa diraih dengan
kesabaran. Kalimat ini terbukti benar lewat untaian kata yang tersaji dalam
Novel Ayah Aku Rindu anggitan S. Gegge
Mappangewa.
Bukan hanya sekedar teori, sebab
lakon yang dituturkan dalam novel ini seolah nyata adanya. Bahkan mungkin kita
pernah mendengarnya dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang kerasnya
penekanan hidup Rudi, seorang remaja asal Allakkuang, yang akan membuat
pembacanya penasaran ingin cepat-cepat menghabiskan lembaran bukunya. Belum
lagi rasa sedih dan tekanan yang berkepanjangan tanpa jeda.
Pembaca juga akan diajak menyelam di
lautan kepedihan yang tergurat rapi di setiap
halaman. Cobaan demi cobaan telah menerpa Rudi sejak dia masih butuh
pegangan. Apalagi usia remajanya yang cendrung labil. Bahkan satu-satunya sosok
ayah setelah ibunya wafat diharapkan sebagai figur pun tidak ada. Hanya Pak
Sadli yang berprofesi sebagai guru sekaligus tetangga dianggapnya panutan.
Namun beliau juga dengan Rudi hampir seperti adik dan kakak, karena usia mereka
terpaut tidak begitu jauh.
Rudi tinggal bersama ayahnya di rumah
almarhum Nenek Rudi. Ayah Rudi tidak ingin tinggal di rumahnya yang cukup
besar. Dengan alasan banyak kenangan indah di sana. Selain tinggal di rumah
almarhum nenek, Ayah Rudi mengalami penurunan mental. Penurunan mental ini
semakin hari semakin menjadi-jadi. Sampai suatu hari Rudi hampir saja dibunuh
oleh sang ayah.
Dalam hal percintaan, Rudi selalu di
wanti-wanti oleh almarhum ibunya agar tidak pernah mendekati Ririn. Ririn
adalah adik Pak Sadli. Ibu tidak pernah menjelaskan alasannya mengapa. Hanya
satu kalimat yang diucapkan untuk menutup pembicaraan Rudi tentang hal
tersebut. Yaitu sebuah kalimat ....di
rumah kita banyak cinta (halaman
47).
Rudi adalah sosok remaja yang cerdas.
Suatu hari saat di sekolah, guru Matematikanya yang bernama Pak Mukarram yang
dikenal dengan guru yang galak, memerintahkan Rudi untuk mengerjakan soal
matematika di papan tulis. Saat itu Rudi sedang memikirkan kondisi mental
ayahnya yang memburuk. Sontak Rudi langsung ke depan dan mengerjakan yang
diperintahkan. Namun, herannya Pak Mukarram salut dengan kebenaran dari jawaban
Rudi.
Rudi juga dikenal sebagai sosok yang
jujur. Pada saat pihak sekolah mengumumkan pemenang fotografi jatuh dengan nama
Rudi dan mendapat uang senilai sepuluh juta rupiah. Awalnya dia bangga dan
senang. Berita itu akan disampaikan ke ayahnya, namun diurungkan niatnya
setelah terngiang dengan nasehat almarhum ibunya dan cerita tentang Nenek
Mallomo oleh Pak Sadli mengenai kejujuran. Akhirnya dia putuskan untuk
mengembalikan semua uang dengan alasan foto yang dikirimkan olehnya merupakan
hasil jepretan ayah Rudi di masa silam.
Didikan lembut ibunya dan disiplin
dari ayahnya mampu mempertahankan Rudi di tengah cobaan. Lisan ibunya bak
mutiara yang tidak pernah kehabisan kata-kata. Ajakan disiplin dan nasehat
ayahnya terus terngiang berharap ingin membalas semua sekarang setelah dulunya
sering dilanggar oleh Rudi.
Emosi pembaca diaduk-aduk, ketika
sang ayah terus melakukan aksi pembunuhan terhadap Rudi. Ditambah lagi
percobaan pembunuhan pada Pak Sadli. Ayah Rudi mengaku dirinya bukan ayah Rudi,
akan tetapi dia adalah Nenek Mallomo. Yakni sang legendaris dari gunung Batu,
sebuah daerah berbatu yang memanjang di pinggiran kampung Allakkuang.
Niat Rudi untuk mengembalikan posisi
ayahnya di rumah sangatlah besar. Hal ini dibuktikan saat salah seorang
temannya pernah melabelkan sesuatu yang buruk terhadap ayahnya. Namun kesabaran
Rudi selalu dikedepankan.
Jiwa bahagia dan keyakinannya
tercipta ketika ribuan cobaan menerpa. Pesan inilah yang tersaji nyata pada
novel ini, khususnya setelah pembaca merampungkan keseluruhan dari buku. Karena
memang pembaca selalu dibuat salah duga oleh penulisnya.
Cerita kepedihan dan kesakitan yang
awalnya pekat, lambat laun berubah menjadi buah kebahagiaan yang melegakan.
Manisnya rasa ini kemudian berlangsung hingga titik terakhir kelar dibaca.
Mengapa Harus Membaca Ayah Aku Rindu?
Menurut opini saya pribadi, ada lima
alasan mengapa Novel Ayah Aku Rindu patut menambah deretan koleksi novel
kalian. Silakan cermati beberapa poin berikut ini.
Pertama, Ayah Aku Rindu adalah novel yang dilematik, inspiratif sekaligus
memberi motivasi.
Kisahnya akan melekat erat di hati pembaca, sekaligus menjadi pematik api
semangat bagi yang gemar motivasi lewat sajian tulisan.
Dalam novel ini, banyak momen yang
akan menumpahkan air mata pembaca. Beberapa di antaranya adalah saat Rudi
kehilangan ibunya, disusul kehilangan sosok ayahnya. Padahal secara lahiriah
ayahnya terpampang nyata di depan mata.
Sebaliknya, pembaca juga akan
terinspirasi dengan kisah kejujuran Rudi saat menerima uang sepuluh juta rupiah
yang bukan merupakan haknya. Uang sebanyak itu bagi usia remajanya sangatlah
menggoda. Namun karena Rudi ingat pesan almarhum ibu dan cerita Nenek Mallomo
oleh Pak Sadli, maka niat untuk memilikinya diurungkan.
Novel ini juga menyelipkan
kalimat-kalimat motivasi. Salah satunya : Allah
sebaik-baik penolong dan tempat meminta, Rud! (halaman 123).
Kedua, alur cerita yang plot twist. Alur cerita yang membuat pembacanya salah duga.
Penulis S. Gegge Mappangewa dengan cerdas menggunakan alur ini. Awalnya pembaca
menduga ceritanya seperti dalam pikiran pembaca, padahal di akhir cerita
tidaklah demikian.
Sejak membuka halaman pertama, saya
enggan langsung menutup buku lantaran rasa penasaran yang tinggi di halaman
berikutnya. Apalagi pada bab awal dimulai dengan judul kuburan dekat lapangan.
Saya berani menjamin, pembaca sanggup menyelesaikan Ayah Aku Rindu setebal 192
halaman dalam waktu beberapa jam saja tanpa merasa terbebani.
Ketiga, teknik pelataran yang kental dengan lokalitas. Pembaca akan terbawa penasaran pada
daerah Allakkuang yang terletak di jalan provinsi antara kabupaten Sidenreng
Rappang dengan kabupaten Soppeng di kota Makasar provinsi Sulawesi Selatan. Apalagi di sepanjang pinggiran kampung
Allakkuang dipenuhi batu sehingga disebut Gunung Batu. Gunung Batu ini adalah
tempat cerita yang melegenda dari Nenek Mallomo. Pembaca pasti penasaran untuk
mencarinya di Google Map seperti saya.
Dari sisi suasana, budaya Bugis
sangat kental mewarnai novel ini. Banyak hikayat yang dihubungkan dengan cerita
di setiap babnya. Kadang istilah Bugis terangkum dalam cerita. Seperti Labuesso yang artinya senja, atau Lego-lego yang artinya serambi depan
rumah panggung.
Namun demikian, bukan berarti novel
ini tidak bisa dinikmati oleh pembaca non Bugis. Tanpa terkesan menggurui,
dengan gesit S. Gegge Mappangewa menuturkan makna dari setiap kata berbahasa
Bugis itu pada catatan kaki.
Keempat, kaya akan hikayat. Hikayat yang ditulis oleh penulis pada setiap awalan babnya
merupakan perwakilan dari isi di setiap bab yang bisa dipetik hikmahnya. Namun
demikian pembaca masih dibuat penasaran bagaimana isi dari hikmah hikayat
tersebut.
Kelima, adanya prolog dan epilog. Prolog dan epilog sering
ditemui dalam karya sastra terutama drama. Namun, tidak menutup
kemungkinan digunakan juga pada karya sastra seperti novel. Menariknya, pada
Novel Ayah Aku Rindu menampilkan prolog dan epilog. Adanya prolog membuat
pembaca penasaran untuk melanjutkan membaca, meskipun pembaca tahu gambaran
umumnya seperti apa walaupun pada akhirnya bisa salah duga.
Pada bagian epilog, pembaca akan
mendapatkan sebuah kejutan di akhir cerita setelah melewati bab akhir. Tapi
saya sarankan, lebih baik baca keseluruhannya, karena sayang dilewatkan cerita
penulis S. Gegge Mappangewa yang kaya akan diksi ini.
Pada akhir novel ini terdapat opini
Dokter Afif yang menangani kondisi mental ayah Rudi. Semua berhubungan dengan
cincin sisik naga yang dipakai oleh Pak Sadli setelah berpindah tangan dari
almarhum ayah Pak sadli. Hubungan cincin sisik naga dan ketidaksukaan ayah Rudi
pada Rudi maupun Pak Sadli dipastikan akan membuat pembaca semakin penasaran.
Kritik dan saran untuk Ayah Aku Rindu
Seperti sebuah pepatah mengatakan
‘Tiada gading yang tak retak’ yang artinya tiada satu pun yang sempurna.
Demikian juga dengan cerita Ayah Aku Rindu. Walaupun kisahnya sungguh apik dan
menguras emosi, di mata saya ada dua kelemahan.
Yang pertama itu ketidakkonsistenan penulis menggunakan kata aku dan saya
sebagai sudut
pandang dari Rudi. Seperti pada kalimat :
Tatapan Pak Sadli berpindah ke arahku, tapi saya hanya bisa mengangguk
untuk mengiyakan pernyataan barusan (halaman 5).
Gawangku kebobolan. Saya harus fokus (halaman 20).
Dan masih ada di beberapa halaman
lain, yang menurut saya itu sangatlah mengganggu saat membaca cerita yang seru.
Yang kedua ada beberapa typo di beberapa halaman, seperti :
Senum (halaman 120), seharusnya senyum
Pelepas (halaman 143), seharusnya pelepah
Ketemui (halaman 164), seharusnya ketemuan
Mengingat dua kelemahan ini, maka
saya menyarankan agar novel ini diedit kembali pada cetakan selanjutnya.
Apalagi novel ini juga sebagai novel pemenang juara 1 kompetisi menulis novel
remaja indiva 2019. Tujuannya agar pembaca lebih nyaman di mata dan bangga memiliki buku sang juara.
Sayang sekali bila substansi novel yang sungguh memikat ini, harus ternodai
gara-gara dua kelemahan yang sangat sepele.
Akhir kata, semoga Mas S. Gegge Mappangewa bisa menerima kritik membangun ini dengan lapang dada. Tiada maksud saya selain untuk meningkatkan kualitas literasi bagi negeri Indonesia tercinta ini.
Kesimpulan
Ada satu pelajaran berharga yang bisa
dipetik dari Novel Ayah Aku Rindu, yaitu sifat Rudi yang tegar dan sabar.
Padahal usia remajanya rentan akan ketidakstabilan emosi. Semangat ini pantas
ditiru oleh generasi Z yakni generasi yang lahir dalam rentang tahun 2010
sampai kini. Untuk meraih kebahagiaan dan ketegaran agar lebih mendewasa. Oleh
karenanya Ayah Aku Rindu, pantas dibaca oleh siapa saja yang memerlukan
motivasi terhadap kehilangan orang-orang terdekat yang dicintai.
Artikel ini diikutsertakan dalam
Lomba Resensi Indiva 2020 yang diselenggarakan oleh Penerbit Indiva Media
Kreasi.
No comments
Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan tinggalkan pesan atau saran seputar tema pembahasan :).